CITA RASA
PESANTREN
Hari ini menjadi sebuah momentum besar dalam
hidup ana, terpilih menjadi seorang Qiyadah wajihah dakwah memberikan sebuah
beban mental yan cukup menyesakkan. Tangisku menganak bukan ketika nama ini
disebutkan dan diamanahkan sebagai mas’ul wajihah ini, akan tetapi tanggungjawab
dan beban dakwah yang akan saya emban kedepan memberikan sebuah transisi besar
tentang bagaimana gerak langkah Dakwah ini selanjutnya.
Hari ini begitu kelabu, kelam sunyi gelap
gulita pemikiran ini, sayup-sayup angin luar mengganggu isakku. Di kamar kecil
itu, sendiri ku menyepi dan mencari celah tuk tak berpikir. Masih jelas dalam
ingatanku, sebuah melodi indah yang mengganggu istirahat malamku, terus
berngiang-ngiang dan berirama di pangkal telingaku. “...gunung-gunungpun tak sanggup mengemban amanah itu, tetapi manusia
menyanggupinya...”, kata-kata itu menyambar bagaikan halilintar ditengah
badai, membakar lapisan terluar tubuh ini, merontokkan segala sendi-sendi
tulang-belulang ini, napasku mulai sesak, jatungku berdetak tidak beraturan,
semakin kencang dan semakin kencang, dan mataku berkaca-kaca tak terbendung,
kugenggam kuat-kuat pundak saudara ku disamping kanan dan kiri, kurangkul
sekuat mungkin yang kubisa sampai isak tangis kami beradu dalam sebuah
lingkaran yang terbentuk tanpa ada komando, saling merangkul dan saling
berpelukan sampai pada akhirnya amanah itupun diletakkan dipundak yang lemah
ini.
Malam itu ku coba untuk berpikir tapi nalarku
masih kosong. Kebingungan berusaha untuk menghampiriku, merasuk dalam bawah
sadarku, masuk dalam sendi-sendi sel paling terkecil otakku dan yang
terpikirkan, “mau apa dan akan jadi apa
Rois setelah ini”.
Ya, kami atau tepatnya para pendahulu kami menyebutnya
“ROIS = Rohani Islam”, sebuah lembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas yang
bergerak dalam kerohanian dan syi’ar islam. Kata Rois sendiri diserap dari
bahasa arab yang berarti pemimpin atau kepala dan ini tentunya menjadi sebuah
harapan besar bagi kami bahwa dari Rahim Rois inilah akan lahir
pemimpin-pemimpin besar yang siap mengemban dan mengembalikan asholah dakwah
ini sehingga tercapailah misi dakwah yang dicita-citakan.
…………………
Bismillahirrahmanirrahim..,,
Malam itu kumulai
merumuskan sebuah mimpi besar, sebuah asa tentang kultur yang sudah lama
hilang, sebuah cita yang lama tertimbun di dalam transisi kemajemukan gerakan
dan sebuah cita-cita tentang dinamisasi gerak dakwah islam yang membudaya.
Ku renungkan dalam-dalam
tentang mimpi besar ini, mimpi yang
membawaku pada sebuah keyakinan dan azam yang kuat dalam hati bahwa Asholah
dakwah ini akan kembali, kembali bersinar bagaikan mentari menyongsong
datangnya pajar yang memberikan sebuah kehangatan kehidupan bagi semua. Dakwah
ini akan menjadi embun pagi yang menejukkan dan dakwah ini akan menjadi mata
air segar yang memancar dari dalam tanah di tengah-tengan gurun pasir nan
tandus dan kering yang memberikan sebuah kehidupan baru disekitarnya.
Pikirankupun
mulai melayang, terbang jauh membayangkan sebuah dinamisasi pergerakan dakwah
di fakultas ini. Aku mulai terbawa oleh angan-angan yang jelas begitu nyata
dalam kepalaku dan kurasakan angan-angan itu masuk dan merasuk kedalam tubuhku
sampai kepada selah-selah sendi kerangka tulang terkecil tubuh ini.
“Heum..!”,
senyumku pelan terukir tanpa sadar dibibir ini, kemudian aku membayangkan dan
melihat dengan jelas tempatku menuntut ilmu, sebuah fakultas kecil dengan
gedung-gedung yang kelihatan sudah cukup lama ditambah lagi beberapa papan nama
bertuliskan “Laboratorium dan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Fmipa”.
Di gelapnya malam itu petualangan mimpi besarku baru dimulai.
Ketika
itu, aku mulai memasuki fakultas ini, seketika sorot mataku terhenti pada
sebuah plang berbentuk gapura kecil, sebuah gapura yang cukup unik menrutku dan
aku melihatnya ini sebuah mahakarya kecil nan cemerlang. Gapura tersebut
terbuat dari beberapa batang bambu hijau tua dan yang paling unik plangnya
dihias oleh kaligrafi-kaligrafi islami yang menambah eksotisme gapura tersebut.
Dengan nada lirih dan sedikit menghembuskan suara, pelan-pelan kubaca tulisan
yang berada di atas gapura tersebut “Selamat Datang di Pesantren Universitas
Lampung, Fakultas MIPA”.
“Mas,
mas..!” tegurku pada seorang mahasiswa yang melintas didepanku.
“Iya mas..?” jawabnya cepat.
“Plang ini yang buat
siapa ya mas?” tanyaku pura-pura tidak tau.
“oh ini toh, ini sudah lama mas sekitar
lima bulan yang lalu. Ini yang buat kita mas, anak-anak Rois, pas penyambutan
mahasiswa baru.”
“subahanallah,
anak-anak Rois sekarang kreatif ya, sepertinya Rois sudah berkembang pesat
sekarang. Oh ya, di rois diamanahin dimana mas?”
“ana kebetulan jadi
anggota bidang kaderisasi mas” senyum manisnya
mulai kelihatan.
“luar biasa, berapa
yang terrekrut kemaren?” tanyaku penasan.
“Alhamdulillah hampir 90% mahasiswa
muslim FMIPA mendaftar mas.”
Subahanallah, jumlah yang cukup pantastis
kalo dibandingkan dengan kepengurusan di awal terbentuknya Rois. Kalimat yang
sedikit itu membuat ketabjukan yang sangat luar biasa dalam hatiku, desah napas
ini tak berhenti memuji dan bersyukur bahwa mimpi kecil itu semakin jeas
kelihatan.
“wah, lumayan banyak
ya jumlahnya. Trimakasih ya mas” jawabku
singkat mengakhiri percakapan.
“oh iya mas sama-sama.”
Aku terus
berjalan menyusuri fakultas ini dan tiba-tiba aku
melihat sebuah papan triplek putih yang dihiasi dengan beberapa kaligrafi arab
dan disudut kiri bawah papan tersebut terlihat dengan jelas gambar segitiga
orange yang ditengahnya ada bintang dan bulan sabit sebuah simbol kejayaan
islam, tergantung di sebuah pohon dekat halaman parkir. Aku
begitu cermat membaca pesan yang tertulis di triplek putih tersebut “Sibukkan Diri Dengan Kebaikan Niscahaya
Keburukan Akan Enggan Mendekatimu”. Sebuah pesan yang cukup menyejukkan
hati, kemudian aku sekedar melihat-lihat sekeliling, triplek putih yang sama
tidak hanya aku temukan di pohon tersebut, akan tetapi mataku melihat begitu
banyak pesan-pesan kebaikan yang tertulis di beberapa triplek putih yang
lainnya.
Aku
berencana mampir sebentar ke ruangan Kepala Jurusan Ilmu Komputer sebelum ke
jurusan tempat saya belajar dahulu, jurusan fisika. Mataku sedikit mengintip
kedalam sebuah ruangan perkuliahan yang membuat rasa penasaranku bergejolak. Ku
perhatikan baik-baik prosesi perkuliahan yang akan dimulai diruangan itu dari
sebuah kaca transparan pintu ruangan tersebut.
Aku
melihat ada dua blok
kursi yang tersusun rapih secara terpisah dan salah satu bloknya
seperti lebih banyak jumlah kursinya yang diduduki oleh mahasiswa-mahasiswi
yang hendak memulai prosesi perkuliahan, melihat dua blok kursi yang diisi oleh
laki-laki dan perempuan secara terpisah. Subahanallah, dengan jelas kuamati
mahasiswa-mahasiswi yang begitu berusaha menjaga ikhtilatnya dan hubungan lawan
jenisnya sehingga dalam prosesi perkuliahan tempat duduk antara laki-laki dan
perempuan terpisah dengan baik. Ketakjub-anku tidak berhenti sampai disitu,
ketika itu aku melihat sebelum prosesi perkuliahan dimulai mahasiswa-mahasiswi
memulai perkuliahan dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar secara bersamaan
dipandu oleh satu orang, kemudian tilawahnya disempurnakan dengan Do’a sebagai
pengawal hari itu.
“Assalamu’alaikum”, sahut seorang pria muda sembari membuka pintu perkuliahan tersebut.
Rasanya
saya tidak asing dengan raut wajah yang memasuki ruangan tersebut. Usianya
sekitar 5 tahun di atas saya. Penampilannya begitu elegan dengan memakai kemeja
lengan panjang bergaris-garis putih hitam dimasukkan ke dalam celana bahan
bercorak abu-abu.
“Waálaikumussalaam”, sambut seisi ruangan.
Terus ku amati, prosesi perkuliahan
dimulai dengan begitu antusiasnya. Sebelum aku beranjak sempat ku mendengar
kata-kata arif nan bijak dari pria tersebut, “ ilmu
itu bagaikan cahaya
Sambil
mengucap salam ku ketuk pintu segi empat yang berlebel “Ruangang Kajur
Ilkom”, seketika tubuhku lenyap dan memandangi seorang pria tua sedikit
botak dengan kacamata bergantung di tulang hidungnya. Senyum khasnya terlempar
seketika sembari menjawaab salamku, “Hasibuan, bagaimana kabarmu sukses kamu
sekarang ya”, “Alhamdulillah pak, seperti yang bapak lihat”
Hampir 3o
menit kami berdiskusi sambil sedikit berbagi pengalaman dan mengingat-ingat
dahulu aku sering meminjam ruangan ke beliau tanpa surat peminjaman untuk
agenda-agenda Rois, terutama kajian setiap seasa sore.
Dalam diskusi yang singkat itu beliau
menjelaskan kondisi birokrasi Fmipa sekarang, pengaturan jadwal kuliah dan
praktikum yang tepat tanpa bertabrakan dengan waktu sholat memberikan keluesan
bagi mahasisswa dan dosen untuk turut ikut serta shalat tepat waktu dan
berjama’ah. Pihak dekanat juga mengeluarkan sebuah kebijakan yang sifatnya
persuasif yaitu Setiap dua minggu sekali pada jum’at pagi ada kajian bersama
civitas akademika Fmipa yang melibatkan seluruh komponen masyarakat Fmipa baik
mahasiswa, dosen, kariawan maupun pegawai dekanat.
Setelah urusanku selesai, aku berencana melihat sebentar keadaan
tempat lembaga kemasiswaan, ketika ana berjalan-jalan dengan lincahnya menuju
gedung UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Fmipa, seketika itu langkahku terhenti dan
mataku serasa tak berkedip memandangi gedung panjang dengan kamar-kamar 4 X 6
meter sepi bak tak berpenghuni, sebagian besar pintu kesekretariatan tertutup
rapat sedang yang lainnya terbuka namun hanya ada dua atau tiga orang cewek tak
berjilbab sibuk mengutak-atik labtopnya, lalu aku menanyakan kepada mereka
tentang keberadaan mahasiwa yang lainya, dengan halus salah satu dari mereka
menjawab “yang lainya lagi pada shalat
berjamah ke mesjid Alwasi’i, yang cewe-cewe sebagian ke mushallah terdekat”.
Ternyata aku baru menyadari bahwa kumandang azan sudah berlalu dari beberapa
menit yang lalu, subahanallah, ternyata gedung UKM sepi ketika azan dzuhur
berkumandang, mahasiswa, dosen dan kariawan bergegas ke mesjid dan menempati shaf terdepan, shalat djuhur dan asar di
mesjid kampus sungguh jauh berbeda, hampir semua shaf terpenuhi dan setelah shalat berakhir kelihatan beberapa
mahsiswa membentuk kelompok-kelompok kecil yang dipandu oleh satu orang mentor,
yang sebagian lagi membuat diskusi-diskusi kecil.
Ada seorang mahasiswa yang menawarkan
sebuah jajanan kepada teman di sampingnya, kemudian temannya tersebut mengatakan “Afwan
akh, ana lagi shoum senin kamis”. Aku langsung mengingat tidak akan pernah
laku pedagang atau mahasiswa berjualan pada hari senin dan kamis, karna
sebagian besar mahasiwanya sedang melaksanakan shoum sunnah senin-kamis.
Sebelum pulang kembali ke Fmipa aku
melintas di depan kantin Al-Wasi’I, gedung tiga lantai yang terbentang
memanjang tepat di belakang masjid tersebut. Lantai 1 adalah tempat kantin dan
mini market sedangkan lantai 2 tertulis jelas di plangnya “Asrama Mesjid
Al-Wasi’I”.
Tidak seperti biasanya, lantai bawah
tampak kelihatan sepi hanya beberapa mahasiwa yang nongkrong dan menikmati
santap siannya. “mungkin ini mahasiswa yang tidak puasa sunnah” pikirku.
“Mimpiku dahulu sudah
terwujud” gumanku dalam hati. Menjadikan masjid kampus sebagai basis
pergerakan mahsiswa dan tempat transit serta halulalang atau hanya sekedar
merebahkan badan setelah seharian bergelut dengan prosesi perkuliahan.
Melihat
masjid kampus yang begitu dinamis dan produktif menandakan islamisasi kampus
sudah menjadi kultur yang membudaya.
Sejauh mata memandang, aku
melihat akhwat-akhwat bangga dengan jilbab lebarnya, setiap muslimah di Fmipa
sebagian besar sudah terhijabkan secara Syar'i. Mahasiswa tidak malu lagi
dengan keislamannya, Islam sudah menjadi trend dan budaya serta kultur yang
melekat pada setiap diri masyarakat Fmipa, baik itu mahasiswa, dosen maupun
karayawannya. Ana melihat disekitar rumput-rumput hijau didepan gedung-gedung
perkuliahan ada beberapa kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 7-12 orang
mahasiwa yang dipandu oleh salah seorang mentor, sesekali ana mencuri pandang
dan menguping tentang apa yang mereka bicarakan dan diskusikan dalam kelompok
kecil tersebut, ada yang sedang memperdalam pemahaman keislamannya, dan ada
juga yang sedang mendengarkan dan menyimak nasihat bijak dari sang
mentor.Sebagian lagi membentuk kelompok diskusi tentang bagaimana perumusan
ide-ide dakwah dan kerja-kerja dakwah selanjutnya, ana teringat bahwa ana
pernah seperti mereka dahulu ketika ana diamanahkan di ROIS Fmipa.
Aku melihat seorang ikhwan sedang duduk
meneyendiri di bawah pohon rindang dengan sebuah mushaf Al-Qur’an warna orange
ditangannya, ana terus memperhatikan beliau, subahanallah ternya beliau sedang
mengulang-ulang hafalan Qur’annya dan berusaha menambah ayat demi ayat
hafalannya. Sebelum ana pulang ana sempat melintas di depan sekretariat sebuah
Lembaga Kemahasiswaan di pintunya tertulis “HIMBIO”, aku mendengar suara merdu
nan menyejukkan hati, ketika ayat demi ayat mengalir begitu indah dari dalam
sekre tersebut, ayat tersebut cukup familiar bagi ana bahkan ana sempat
menghafalnya dahulu ketika surat tersebut menjadi tugas hafalan presidium
(waktu ana diamanahin di Rois), “Ar-Rahman”.
Lantunan tersebut belum berhenti, dengan sedikit malu ana mengintip dari celah
jendela kaca dekat pintu sekre, ternya seorang ikhwan sedang menuntaskan
tilawah hariannya dengan kusuknya.
Terakhir aku masih ingat selepas salat juhur
tadi sempat berbincang-bincang dengan salah seorang mahasiswa Fmipa jurusan
kimia, belia menjelaskan dengan semnagtnya, ketika hari jum’at, serasa Fmipa
ini berubah menjadi madrasah yang disebut “Pesantren”
bukan hanya nuansanya saja yang begitu kental terasa tetapi cita rasa pesantren
pada hari itu sungguh sangat menyejukkan. Semua mahasiswi muslimah serentak
memakai jilbab putih, sejauh mata memandang semuanya bernuansa putih. Tidak
kalah dengan yang di ikhwan, setiap muslim laki-laki memakai baju koko yang
serentak, seakan kebiasaan ini sudah menjadi kultur wajib yang tidak bisa
ditinggalkan, kita menyebutnya “Gerakan
Jum’at Berkoko dan Berhijab Putih”. Maka pada hari jum’at tidak
heran lagi akan banyak santri dan santriwati di Fmipa.
…….
Ternyata
aku mulai terbawa melayang dengan angan-anganku, angan-angan ini bukan hanya
sekedar mimpi penyejuk kalbu belaka. Tapi begitu jelas dan terasa indah dan ini
menjadi azam yang kuat.
Merasakan
indahnya dinamisasi islam yang menjadi cita-cita besarku
tentang sebuah cita rasa kampus islami yaitu CITA RASA PESANTREN.
No comments:
Post a Comment